“Teriakan untuk perdamaian (hanya) akan
menjadi seperti suara orang yang berseru di padang belantara kalau roh
nir-kekerasan itu tidak menguasai jutaan laki-laki dan perempuan”
Mohandas K.
Gandhi yang dikenal sebagai Mahatma Gandhi
Visi misiologis
membawa gereja ke dalam dua kutub yang seringkali saling bertentangan. Di satu
sisi kita menemukan gereja yang agresif dalam visi ini, di sisi lain kita
bertemu dengan gereja pasif. Gereja-gereja yang mengambil langkah agresif
dengan tekun menyuarakan komitmen misiologis mereka berharap agar seluruh
dunia menjadi Kristen dengan cara yang mereka kenal, dengan konsep keselamatan
yang sudah mereka hapal di luar kepala, bahkan tidak jarang mereka kembali
‘menobatkan’ orang-orang yang sudah Kristen, karena mereka menganggap
Kekristenan orang-orang tersebut belum utuh dan sempurna sebelum mereka
berpaling pada hermeneutik mereka tentang tradisi gereja yang benar, menurut
mereka. Konsep kontekstualisasi pada lokalitas membuat mereka gerah. Konsep
yang benar bagi mereka adalah kembali kepada tradisi Alkitab sampai ke titik
koma, karena Alkitab adalah sepenuhnya firman Tuhan yang tidak boleh dilanggar.
Hingga kadang mereka lupa bahwa Alkitab juga mempunyai konteks penulisannya
sendiri.
Sedang di
sisi lain kita melihat gereja-gereja yang adem ayem. Adem ayem karena mereka
sudah punya masa, sudah punya bangunan gereja, sudah punya organisasi yang
jelas, sudah punya pendeta dengan gaji yang cukup, sudah punya tradisi yang
dibukukan. Namun bersamaan dengan kenyamanan yang terjalin itu mereka menjadi
enggan melihat ke luar, kesibukan mereka adalah pada bagaimana organisasi yang
bernama gereja ini bertahan hidup. Hingga kadang mereka melewatkan panggilan
misiologis gereja, yang justru merupakan salah satu panggilan terpenting orang
percaya.
Tentu tidak
sedemikian buruk dalam realitasnya. Tapi untuk melihat sesuatu, seringkali kita
harus membawanya pada batas-batas terburuknya. Ketika kita siap dengan kondisi
terburuk, maka kondisi yang biasa-biasa saja pasti sudah termasuk dalam
perhitungan yang kita pikirkan. Seperti halnya yang dikatakan Stephen R. Covey
dalam bukunya 7 Habits
of Highly Effective People, “Orang yang sukses biasanya adalah
orang yang berhasil dalam plan
B, rencana terburuk.” Untuk visi misiologis dalam gereja, prinsip
ini rasanya bisa menjadi pertimbangan juga.
Antara
Metode dan Prinsip
Dua hal yang
seringkali dicampuradukkan dalam praktik bahkan dalam perumusan idea adalah
prinsip dan metode. Prinsip yang sebenarnya adalah dasar, landasan, bahkan
tujuan, seringkali menjadi hitungan kedua setelah metode yang tak lain hanyalah
cara mewujudkan prinsip tersebut. Diskusi mengenai proses dan hasil ini memang
menjadi diskusi yang seringkali begitu dikotomis, kita meletakkan dua hal ini
dalam polar yang saling berkebalikan, saling menegasi, saling bertentangan
dengan tanpa sadar kita meletakkan salah satu sebagai subversi dari yang lain.
Kita yang begitu menghargai prinsip serta merta menomorduakan metode, begitu
juga sebaliknya. Tanpa kita sadari keduanya punya porsi yang tidak bisa saling
dihilangkan. Dua-duanya tidak berada dalam hubungan satu lebih rendah daripada
yang lain, tetapi keduanya tetap harus dipisahkan karena naturnya memang
berbeda.
Dalam
komitmen misiologis gereja, prinsip utama yang harus dipegang tidak lain adalah
Amanat Agung Yesus Kristus dalam Mat. 28: 19-20:
“Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa
dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman.”
Prinsip ini
adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam sebuah komitmen misiologis
gereja. Ada dua
hal yang menjadi penekanan dalam ayat tersebut, yaitu:
1.
“Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” yang merupakan ajakan supaya gereja bergerak ke
luar dari lingkarannya, ke dalam dunia yang lebih luas untuk menjadilah semua
bangsa murid Yesus dengan cara membaptiskan mereka. Membawa jiwa-jiwa untuk
mengenal Yesus, dalam hal ini dalam kaitannya dengan Bapa dan Roh Kudus.
2.
“Ajarlah mereka melakukan …” yang merupakan perintah untuk tidak hanya sibuk
mencari jiwa, tetapi bagaimana membawa jiwa-jiwa yang mengenal Yesus itu untuk
melakukan apa yang menjadi kehendak Yesus, yang tak lain adalah seluruh karya
Yesus di dunia, yang pada akhirnya membawa pengerucutan pada kata kasih. Kasih
yang tidak murahan tetapi kasih yang pemurah itu.
Berbicara
mengenai gereja yang misioner sebenarnya adalah berbicara mengenai
bagaimana gereja bisa memenuhi komitmen misiologis yang terkandung dalam Amanat
Agung tersebut. Bagaimana prinsip yang terkandung dalam Amanat Agung itu
sepenuhnya diwujudkan, tetapi dengan metode yang kontekstual, metode yang
menghargai keragaman konteks di mana Injil itu akan disebar. Sekali lagi
perlu mendapat penekanan yang cukup tegas di sini, prinsip dan metode tidak
bisa serta merta dicampuradukkan.
Menelusur
Sumber Konflik Misiologis
Sebelum kita
merumuskan bagaimana seharusnya jemaat yang misioner, ada baiknya kita
melihat kegagalan-kegagalan misi yang selama ini terjadi. Yang dimaksud dengan
kegagalan di sini bukanlah kegagalan untuk mendapatkan orang-orang atau jiwa-jiwa, tetapi
kegagalan yang lebih prinsipial, lebih ideologis. Kegagalan yang dimaksud
adalah kegagalan mewujudkan prinsip komitmen misiologis dengan metode
kontekstual. Dengan bahasa yang jauh lebih gamblang (dan jujur) bisa dikatakan
demikian: mengapa misi yang dilakukan oleh suatu gereja pada akhirnya justru
bertentangan dengan misi di gereja lain? Yaitu ketika misi ini tidak membuat
kesatuan denominasi gereja menjadi kuat dalam wahana keselamatan universal
Yesus Kristus, tetapi justru menjadi konflik yang tidak sehat. Ketika kita
sampai pada ranah ini sebenarnya kita juga sedang mengupas mengapa pada
akhirnya misi tidak menambah jumlah orang yang percaya dan melakukan kehendak
Yesus, tetapi kita hanya mengubah doktrin demi menambah serikat gereja atau
denominasi kita dari orang yang sebelumnya sudah mengaku percaya.
Iman adalah
hal yang sangat rawan, karena iman berada dalam ruang yang tidak material. Iman
bukan sesuatu yang secara fisik bisa disentuh, dilihat, dirasa, dicium,
didengar. Iman berada dalam ruang yang samar-samar, dan memang harus diakui
naturnya memang demikian. Misi adalah usaha untuk menjadikan orang bersentuhan
dengan perkara iman yang demikian. Karena itu misi pertama-tama tidak bisa
dilihat sebagai suatu hal yang bisa dihitung secara kuantitatif, karena
hitungan yang tepat untuknya (berdasarkan naturnya) mau tidak mau memang
hitungan kualitatif.
Inilah yang
seringkali dilupakan oleh gereja-gereja dalam usaha misi mereka. Seringkali
hitungan gereja menggunakan hitungan ekonomi, semakin banyak orang yang percaya
maka semakin sukses upaya misi yang dilakukan gereja tersebut. Ini adalah
paradigma yang keliru. Seperti halnya paradigma bahwa konflik berdarah-darah
dalam perang bersenjata lebih buruk daripada perang ekonomi, seperti konsep di
India ketika mereka ngeri melihat darah tertumpah, lembu terbantai, tetapi
mewajarkan penganiayaan dan kekerasan non-fisik seperti korupsi karena kerakusan.
Dalam misi, kita lebih terganggu dengan sesuatu yang bersifat material, tetapi
justru tidak terlalu terganggu dengan sesuatu yang bersifat non-material,
spiritual, yang sebenarnya justru menjadi fokus sebuah misi.
Gereja yang
begitu agresif dalam misinya seringkali begitu berbangga ketika banyak orang
masuk ke dalam gerejanya. Mereka memberitakan Yesus yang menyelamatkan,
misi yang berpangkal pada baptisan, tapi melupakan bahwa dalam misi-Nya,
Yesus justru sangat terbuka pada perbedaan: Yesus yang membiarkan perempuan
Siro-Fenisia tetap pada imannya, Yesus yang membiarkan Nikodemus tetap pada
profesinya sebagai pemimpin agama Yahudi. Mereka melupakan bahwa Yesus yang
tidak mengajarkan Kerajaan Allah dengan cara doktrin per doktrin tetapi justru
dengan perumpamaan, supaya tafsir orang pada akhirnya menjadi lebih luas
daripada pada doktrin yang kaku dan pragmatis. Gereja-gereja yang demikian
tidak jarang dengan mudah menyesat-sesatkan gereja yang tidak sealiran
dengannya. Bukan membuat perdamaian menjadi salah satu agenda, tetapi semakin
melebarkan jurang permusuhan antargereja. Prinsip Amanat Agung yang mereka
lewatkan adalah mengajar mereka melakukan kehendak Yesus, karena sudah terpaku
pada doktrin bahwa ajaran Yesus tidak lagi bisa ditafsirkan sesuai dengan
konteks jaman sekarang yang begitu plural.
Di sisi
lain, kita bertemu dengan gereja yang adem ayem, mereka yang merasa sudah
mempunyai anggota yang cukup, mereka berhenti dalam tugas misi mereka. Dengan
tenang mereka mengatakan bahwa iman adalah semata-mata urusan personal, yang
tak lain sebenarnya adalah dalih bahwa mereka juga begitu terpaku pada
paradigma bahwa doktrin mereka sudah benar, sudah baku dan tidak bisa lagi-lagi diutak-atik.
Dalam misi mereja menjadi pasif, mereka menunggu orang datang, bukan mengajak
orang untuk ikut serta. Gereja yang demikian merasa bahwa ketika terjadi
pembaptisan, maka itu sudah cukup, dan mereka lalai bahwa dalam Amanat Agung,
baptisan adalah penjumlahan dari upaya gereja untuk pergi dan menjadikan bangsa-bangsa murid-Nya.
Sebuah bahasa yang lebih tepat dibunyikan sebagai kebutuhan proaktif daripada
sekadar kebutuhan reaktif.
Pertentangan
misi ini membuat gereja-gereja, kalau boleh jujur dan berani, sibuk mengurusi
domba-domba gereja lain, bahkan gembala-gembala gereja lain (yang sebenarnya
sudah masuk ke dalam lingkaran, dan seharusnya tinggal “diajar melakukan”) dan
lupa kepada dunia yang sebenarnya justru menjadi sasaran misi. Yang satu sangat
sibuk dengan komitmen misi yang sempit, karena misi hanya dimengerti dalam
paradigma mereka sebagai membawa jiwa-jiwa ke dalam gerejanya dan bukan kepada
Yesus yang universal, yang justru tetap beragama Yahudi itu (walaupun Yesus
membawa angin baru bagi Yudaisme). Sedangkan yang satu begitu sibuk dengan
komitmen teologis yang sempit hingga melupakan bahwa misi perlu upaya proaktif,
pergi dan bergerak ke luar. Misi antargereja ini lalu tidak membawa damai
sejahtera, tetapi membuat perseitrgangan antargereja menjadi lebih kompleks.
Keragaman teologi kemudian justru menjadi perbedaan yang memecah, bukan
kekayaan yang patut senantiasa menjadi diskursus.
Merumuskan
Gereja yang Misioner
Pertanyaan
terbesar kemudian yang muncul adalah bagaimana secara nyata wujud gereja yang
misioner itu, bagaimana gereja menanggapi panggilan dan komitmen misiologisnya?
Rumusan yang akhirnya disusun dalam paper ini, mau tidak mau tidak pertama-tama
berangkat dari konsekuensi metodologis, tetapi dari prinsip ideologis dari
dasar misiologis. Karena sekali lagi, metode adalah cara, metode bisa beragam
asalkan setia pada prinsipnya dan kontekstual. Demi konsistensi dan
pertanggungjawaban etis, kita sedikit perlu mengurai bagaimanakah kesetiaan
pada prinsip dan kontekstualitas ini.
1.
Setia pada prinsip (tekstual), berarti bahwa misi yang dilakukan harus
berangkat dari pedoman yang terdapat dalam Alkitab. Alkitab tentu saja bisa
ditafsirkan sedemikian rupa, dengan metode penafsiran yang beragam (historis
kritis, naratif, ideologis, sosiologis, feminis, dll.) tetapi tetap tidak
mengurangi dan bertanggungjawab pada Alkitab tersebut sebagai dasar
tekstualnya. Dalam paper ini, secara khusus titik berangkat misiologi adalah
Amanat Agung Yesus Kristus. Misi tidak boleh melupakan dua pokok yang
terkandung dalam amanat agung seperti dijelaskan di atas.
2.
Kontekstual. Kata konteks merujuk pada budaya, kondisi sosial, politik,
ekonomi, tradisi, sejarah yang terdapat di suatu tempat. Upaya teologi
kontekstual merupakan upaya mendekatkan teologi pada berbagai lapisan
penerimanya, sehingga teologi tidak dilihat semata-mata menggunakan kacamata
dunia Barat. Tanpa disadari teologi yang berkembang di Indonesia sangat
bernuansa Barat, dan itu melemahkan, Alasan yang digunakan biasanya adalah
pemurnian teologi, padahal sebenarnya kita sedang berada di bayang-bayang hermeneutik
para teolog Barat, para bapa gereja yang kadang tidak senantiasa tepat ketika
dihadapkan pada konteks Indonesia. Karena sebenarnya para bapa gereja itu pun
berangkat dari konteks keberadaan mereka saat itu, misalnya Agustinus
menggunakan secara kritis filsafat Plato, Thomas Aquinas menggunakan filsafat
Aristoteles, Calvin lain lagi karena sangat bernuansa Renaisans, para teolog
pembebasan menggunakan konteks penindasan rasial dan di Afrika Selatan. Dari
teologi kontekstual ini kemudian muncul teologi kerbau di Asia ,
teologi feminis, bahkan teologi sukses. Teologi kontekstual adalah kesadaran
bahwa cara orang menerima Tuhan dan berteologi secara operasional mau tidak mau
sangat dipengaruhi oleh konteks keberadaannya. Misi pun tampaknya harus
kontekstual, seperti halnya Paulus yang menyatakan bahwa ketika dia bersama
orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, ketika bersama orang Yunani aku
menjadi seperti orang Yunani. Teologi kontekstual bukanlah teologi yang plin plan tetapi
teologi yang menghitung konteks keberadaan penerimanya.
Lalu
bagaimanakah teologi yang secara prinsip seharusnya menjadi dasar bagi gereja
untuk menjalankan komitmen misiologisnya. Ada
beberapa catatan penting yang harus selalu dipertimbangkan, bukansalah satunya
tetapi seluruhnya, yaitu:
1.
Meneladan Yesus. Misi sebeneranya adalah tanggungjawab yang didelegasikan oleh
Yesus kepada pengikutnya. Yesus sendirilah yang sebenarnya memulai upaya misi
dengan menafsirkan ulang kepercayaan Yahudi. Ketika menafsirkan sesuatu Yesus tetap
berpegang pada kitab-kitab Yahudi, tetapi menambahkan sesuatu yang lebih
daripada tafsiran yang selama ini ada, sesuatu yang lebih itu tidak lain adalah
kasih universal. Kita bisa melihat bagaimana Yesus menafsirkan misalnya ketika
Dia berkhotbah di bukit. Seharusnya upaya misi juga berangkat dari bagaimana
Yesus melakukan misinya, upaya yang dilakukannya adalah yang dilakukan dalam
damai, kasih. Bukan pertama-tama untuk menghakimi kepercayaan seseorang, tetapi
untuk membawa kepercayaan itu ke tingkat yang lebih tinggi dari yang selama ini
telah dicapai.
2.
Dua hal berjalan bersama. Dari Kis. 2: 47, ada dua hal yang berjalan bersama
dalam misi gereja perdana yaitu “menambahkan jumlah mereka … dengan orang yang
diselamatkan.” Ada
penambahan jumlah orang percaya, tetapi bukan hanya percaya tetapi
diselamatkan. Tentu ini lebih bersifat transenden daripada imanen, bahwa yang
berhak menilai seseorang sebagai percaya dan diselamatkan bukanlah sang
misionaris, bukanlah manusia tetapi Tuhan. Keselamatan dan keanggotaan gereja
seharusnya adalah dua hal yang berjalan beriringan, ini adalah kritikan keras
bagi penekanan salah satu saja, penekanan pada seolah-olah kuantitas dengan
misi yang agresif, atau penekanan pada seolah-olah kualitas pada misi yang pasif.
3.
Bukan demi gereja, tetapi demi terwujudnya tanda-tanda kehadiran Allah di
dunia. Ini adalah catatan penting untuk misi sebuah gereja. Ketika misi
dijalankan oleh gereja sekadar untuk gerejanya, maka yang terwujud tidak jarang
adalah upaya ‘menobatkan’ orang yang sudah Kristen supaya bergabung dengan
gerejanya. Ini bukanlah tugas pertama misi, tugas pertama misi adalah membawa
orang ke dalam Yesus dan mengajar orang itu untuk melakukan apa yangmenjadi
kehendak Yesus.
Pada
akhirnya, John Stott dalam tulisannya menyatakan bahwa ada empat hal yang bisa
menjadi tolak ukur apakah sebuah misi berjalan dengan tepat ataukah tidak,
empat hal itu berhubungan dengan relasi antarorang percaya, tentu saja dalam
keragaman denominasi mereka. Empat hal tersebut adalah apakah orang-orang
percaya bertekun pada ajaran para rasul sesuai dengan ajaran Yesus, apakah
hubungan atau relasi ini terjalin baik satu sama lain, apakah mereka
berhubungan dengan baik dengan Allah, dan apakah mereka berhubungan baik dengan
dunia luar dalam menjadi saksi Yesus. Gereja yang misioner tampaknya tidak bisa
menghilangkan salah satu variabel dari keempat variabel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masukan agar semakin hari bisa menyajikan lebih baik dan lebih bermanfaat