Selasa, 29 Agustus 2017

Jemaat Yang tertidur



Jemaat Yang Tertidur (Wahyu 3 : 1 – 6 )

Kota Sadris terletak di atas sebuah bukit yang terlalu kecil untuk perkembangan sebuah kota. Pertumbuhanya yang lambat membuat kota ini tertinggal dari kota kota lain yang lebih baru. Pada tahun 17M sebagian kota ini hancur karena gempa bumi. Penduduk kota Sardis ini yang cepat puas diri itu  harus menyaksikan kehancuran demi kehancuran.

Berbeda dengan surat surat lainnya, surat kepada jemaat Sardis ini tidak merinci satu musuhpun atau bahaya dari dalam ataupun dari luar. Kenapa pada kota ini Tuhan Yesus memperkenalkan diri sebagai pemilik ketujuh roh Allah dan tujuh bintang karena Masalah yang ada didalam jemaat itu bukan dengan orang orang Yahudi atau dengan kekaisaran Romawi, atau dengan guru guru palsu namun semata mata dengan diri sendiri. Demikianlah kondisi rohani jemaat Sardis. Mereka terlena dengan reputasi yang mereka miliki, yakni dienal sebagai gereja yang hidup. Akan tetapi Yesus mengetahui kondisi rohani Jemaat yang sesungguhnya. Sekalipun dari luar mereka kelihatan hidup sebenarnya mati atau tertidur.

Apa yang menyebabkan jemaat Sardis secara rohani tertidur? Oleh karena mereka cepat puas dengan apa yang mereka capai. Mereka terperangkap dalam dosa kemunafikan, yakni melakukan ibadah dan pekerjaan pelayanan semata mata untuk menyenangkan diri sendiri atau mendapatkan pujian dari manusia dan bukan untuk menyenangkan hati Tuhan. Yesus mengecam pekerjaan yang demikian. Dia menilai bahwa tidak satupun dari pekerjaan mereka didapati sempurna dihadapan Allah. Mereka hanya menerima dan mendengarkan Firman Tuhan, tetapi tidak mentaatinya.

Yesus menegur dan masih memberikan kesempatan kepada jemaat Sardis untuk memperbaiki diri dan bertobat. Kondisi tertidur secara rohani kalau tidak segera dibereskan dapat berakibat fatal. Yesus menasehati agar motifasi mereka dalam beribadah dan melakukan segala sesuatu bukan lagi karena mencari pengakuan manusia yang bersifat sementara. Ibadah harus dilakukan dalam ketulusan karena kasih dan ketaatan terhadap Firman Tuhan. Hal itulah yang bernilai kekal.

Penilaian Tuhan jauh lebih penting dari pada penilaian seluruh dunia. Apa yang Tuhan katakan adalah kenyataan. Jemaat ini tidak mengenal diri dan keadaan mereka yang sesungguhnya. Oleh sebab itu,  Tuhan Yesus memerintahkan agar jemaat ini bangkit dan menguatkan apa yang masih tinggal yang sudah hamper mati. Kaki dian dan terangnya belu sepenuhnya padam, masih ada sisa sisa yang baik yang harus kembali diperjuangkan. Tidak satupun pekerjaan mereka didapati sempurna dihadapan Allah. Kemungkinan besar jemaat ini masih menjalankan tradisi religious atau ibadah, namun tidak lagi memiliki kehidupan yang paling esensial diddalamnya. Doktrin doktrin dan pengakuan pengakuan diterima sebagai warisan yang diawetkan dan tidak dilestarikan dalam kehidupan berjemaat.

Kehidupan rohani jemaat Sardis menjadi pelajaran rohani yang berharga bagi kita dalam berjemaat yang hidup pada masa kini. Baik itu didalam kehidupan berkeluarga, dalam pekerjaan dalam masyarakat bahkan dalam bernegara, Firman Tuhan jangan dianggap sebuah dongeng yang meninabubukan iman kita, perhatikan dengan seksama apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam kehidupan kita. Firman Tuhan Ya dan Amin, tidak pernah salah dan juga tidak pernah keliru, segala sesuatu yang difirmankanNya pasti terjadi, oleh karena itu dengarkan FirmanNya, lakukan dalam hidupmu, maka saudara saudara akan layak disebut sebagai anak Tuhan. Maka waspadalah jikalau tidak waspada, kita pun dapat terlena dan tertidur. Mari kita tetap berjaga jaga dan melakukan ibadah dan pelayanan kita dengan hati yang tulus mengasihi Tuhan dan ingin menyenangkan hatiNya. Tuhan memberkati kita, Amin.

Kamis, 29 Juni 2017

Tiga Ujian Yesus Di Padang Gurun

Matius 4 : 1 - 11

Pendahuluan
Kadar emas akan bernilai tinggi jika melalui pembakaran sampai melebur dan akhirnya ada pemisahan antara tembaga, Nikel, besi dan Emas. Kadar yang paling baik adalah 24 karat.
Iman akan bernilai tinggi artinya bermutu baik jika iman saudara dan saya dapat melalui Ujian ujian dalam hidup dengan nilai Lulus, yang pada akhirnya membawa hidup saudara dan saya bermutu dan berkualitas sebagai jemaat Allah.
Kini marilah kita memikirkan bagaimana Allah menguji iman kita. Tes atau ujian kita meliputi tiga bagian yaitu Tubuh, Jiwa dan Roh. Untuk mengetahui cara kita menang dalam tiga ujian hidup atas iman kita, kita harus melihat Yesus yang menang atas segala ujian san pencobaan sebab Ia adalah teladan kita.

I. Ujian didalam Bidang Tubuh (ayat 3)
Selama 40 Hari 40 Malam Yesus puasa dan Dia lapar. Rasa blapar itu dijadikan iblis untuk menjadi senjata pelumpuh, jika Yesus mau, batu menjadi Roti. Tetapi dalam hal ini Yesus mampu mengendalikan hawa nafsunya khususnya perut.
Seringkali masalah dan kesulitan hidup muncul karena urusan perut, Negara menjadi kacau dan tidak terkendali kadang kala perut yang lapar yang menjadi alasan, ibadah atau acara gereja yang tersusun rapi menjadi kacau berantakan karena perut yang lapar.
Mestinya yang kita lakukan adalah tidak mengutamakan kepentingan fisik kita atau tubuh kita yang pada akhirnya melawan kehendak Allah.
Apa reaksi Yesus ketika Dia menghadapi pencobaan ini? Yesus menjawab dengan pedang Roh, yakni kebenaran firman Allah. Yesus hanya mau melakukan kehendak Bapa saja karena Dia telah diurapi oleh Bapa dan sudah menjadi kepunyaan Bapa. Melakukan kehendak Allah atau kehendak diri sendiri adalah sesudah menjadi masalah sejak dulu. Hanya menuruti kemauan diri sendiri menjadikan manusia jatuh dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Yang paling ditakutkan iblis pada Yesus adalah penggenapan firman. Oleh sebab itu Yesus hanya mengatakan "bukan kehendakKu yang jadi, melainkan kehendakMulah yang jadi"

II. Ujian dalam bidang Jiwa (ayat 5 - 7)
"Jika engkau anak Allah . . . " perkataan iblis ini merupakan bagian ujian sangat berat, dimana Yesus ditantang untuk menjadi sombong akan statusNya sebagai anak Allah, yang diinginkan setan adalah Yesus menyenangkan jiwaNya. Sifat dasar manusia yang sering muncul pada diri kitra adalah kesombongan, ingin menunjukkan dirinya sebagai seseorang dan tidak mau direndahkan. Contohnya : Kemerin kami mulai pelayanan di desa A, walah itu dulu jika bukan saya tidak mungkin ada pemberitaan Injil. Sering kali kesombongan menjatuhkan anak anak Tuhan tanpa sadar atau dengan sadar. Mereka lupa bahwa apa yang merekas lakukan tidak luput dari peranan Allah.

III. ujian didalam Roh (ayat 8,9)
Tawarn setan adalah kemegahan dunia dan segala materi keduniawian yang tidak terbatas banyaknya. Ajakan setan adalah untuk menyembah iblis, jiuka menyembah mesti menggunakan Roh kita. Jadi Yesus diuji RohNya untuk menyembah setan. Sering kali kita terjerat dengan model model penyembahan yang dilakukan oleh pengikut setan, contoh : sesaji kepada dayang, sesaji kepada arwah orang mati, sesaji kepada sunan, atau punden desa atau tempat keramat. Tradisi tradisi yang ada dilingkungan atau dilakukan oleh leluhur kita telah menyeret kita pada penyembahan setan. Sadarlah adanya bahaya yang tak kita sadari, ternyata membawa kita kepada penyembahan akan iblis.

Penutup
Waspadalah bahwa iblis senantiasa mengintai kita serta mencari kelemahan kita. Jangan sampai iman saudara digoyahkan oleh tipu daya iblis, tetaplah berpegang teguh pada kebenaran Firman Allah karena itu merupakan pedang Roh yang mampu menghancurkan serangan iblis, kiranya Tuhan memberkati kita.

Minggu, 04 Juni 2017

Persembahan Persepuluhan.

Persembahan Persepuluhan

Beberapa waktu yang lalu saya telah menulis secara ringkas tentang persembahan. Dengan tulisan itu diharapkan setidaknya kita memiliki dasar untuk menjawab pergumulan tentang persembahan. Namun agaknya tulisan itu belum cukup, sehingga ada beberapa saudara yang mendesak saya untuk menulis secara khusus tentang persembahan persepuluhan. Untuk menghormati dan menghargai permintaan itu, maka saya berusaha menyampaikan pemahaman saya tentang persembahan persepuluhan dibawah ini.Saya akan mengawali tulisan ini dengan menyampaikan pemahaman tentang persembahan persepuluhan yang saya ambil dari beberapa buku dan beberapa situs di internet. Dari situ diharapkan kita memiliki pengetahuan bahwa pemahaman tentang persembahan persepuluhan ternyata amat beragam.
1. J. Karuniadi dalam bukunya yang berjudul “Persembahan Persepuluhan” menyampaikan pemahamannya tentang persembahan persepuluhan antara lain sebagai berikut:
  • Gereja yang tidak mengajarkan jemaatnya memberikan persembahan persepuluhan sama saja dengan menutup telinga, mata, dan mulut terhadap firman Tuhan yang mengajarkan dasar-dasar hidup beriman, dan gereja ini dengan demikian tidak membukakan pintu iman bagi anggotanya untuk masuk ke dalam pertumbuhan rohani dan pengenalan akan Allah dengan benar… Pendeta yang tidak mengajarkan jemaatnya mengenal Allahnya melalui memberikan persembahan persepuluhan, akibatnya dia sendiri pun ditolak menjadi imam-Nya oleh Tuhan.
  • Jika berkat-berkat kita tersendat-sendat datangnya, dan hidup kita terasa gersang, cobalah kita mawas diri. Mungkin hidup kita masih seperti orang fasik yang menghina Allah. Salah satu indikasinya adalah mungkin kita belum memberikan persembahan persepuluhan kepada Tuhan dengan setia. Jika kita telah memberikan persembahan persepuluhan, tetapi hidup kerohanian kita masih gersang juga, hendaklah kita bertanya apakah kita telah memberikan persembahan persepuluhan itu dengan benar dan dengan hati tulus.
  • Allah tidak miskin. Langit adalah tahta-Nya dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya (Yesaya 66 : 1). Dia sanggup membiayai pekerjaan-Nya di bumi tanpa memungut 10 % dari penghasilan kita. Akan tetapi, Allah ingin sekali memberkati kita. Dia ingin melihat anak-anak-Nya hidup berkecukupan, sedangkan PERMULAAN DARI SEGALA BERKAT-NYA DATANG MELALUI PEMBERIAN PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN. TIDAK MUNGKIN KITA MENGALAMI BERKAT-NYA DALAM BENTUK APA PUN, JIKA KITA TIDAK MEMBERIKAN PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN. ………… jika perintah Tuhan tentang persembahan persepuluhan ini tidak kita patuhi, kita pun tidak akan pernah dapat menaati perintah-perintah-Nya.
2. Pdt. Yacobus Handjojo Wijaya dalam bukunya “Perpuluhan” menyampaikan hal-hal berikut:
  • Saya pernah menemui seorang ibu yang mengalami sakit selama beberapa hari dan sempat di opname di rumah sakit. Tapi anehnya dokter yang menanganinya tidak dapat mengatakan penyakitnya. Teman saya yang seorang hamba Tuhan mulai berbicara pada ibu ini tentang persembahan perpuluhan dan ternyata ibu ini tak pernah sekalipun membayar persepuluhan, apa jadinya? Setelah tahu persoalan yang dialaminya, maka ibu ini ke gereja dan mulai membayar perpuluhan. Dan ajaib sekali, Tuhan menyembuhkan penyakitnya, Amin.
  • Ada juga seorang pengusaha muda yang baru belajar usahanya sendiri karena selama ini bekerja pada orang tuanya. Ada rasa takut dan khawatir kalau usahanya tidak akan berhasil, ya maklum ini pengalaman pertama baginya. Saya sebagai hamba Tuhan membimbingnya untuk mengerti kebenaran firman Tuhan. Saya sampaikan juga kebenaran firman Tuhan tentang persepuluhan, dan pengalamannya sungguh lucu, tiap kali ia membayar persepuluhan maka usahanya lancar-lancar saja. Tetapi kadangkala ia merasa sayang dengan uangnya sehingga tak membayar persepuluhan dan usahanya mengalami kemacetan.
  • Ada juga yang terlibat dengan bermacam-macam masalah tak kunjung habisnya, seperti benang kusut/basah tak bisa diuraikan, tetapi ajaibnya setelah orang itu rajin membayar persepuluhan, semua dapat diatasi satu-persatu.
3. Larry Burkett dalam bukunya “Persembahan dan Persepuluhan” menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
  • Walaupuh persepuluhan disebutkan di dalam Taurat, tidak ada indikasi adanya hukuman akibat tidak memberi persepuluhan. Memang ada konsekuensinya (kehilangan berkat-berkat). Tetapi tidak ada penghukuman dari Allah karena tidak memberi persembahan persepuluhan. Upah dari memberi persepuluhan dijelaskan di dalam Maleakhi 3 : 10-11, di mana Allah berjanji untuk mencurahkan berkat dan menghalau belalang pelahap. Memberi persepuluhan seharusnya selalu memberi suatu memberi tindakan sukarela yang dilakukan oleh umat Allah.
  • Persepuluhan ditetapkan sebagi suatu demonstrasi fisik dan duniawi mengenai komitmen manusia pada Allah. Allah mengerti keserakahan kita, sifat dasar kita yang mementingkan diri sendiri, dan menyediakan sebuah tanda yang dapat mengidentifikasi mengenai kesungguhan kita. Dengan menyerahkan sebagian sumber-sumber fisik yang kita miliki, kita bersaksi kepada pencipta kita, sama seperti yang dilakukan oleh seorang petani ketika menyerahkan sebagian hasil panennya kembali ke bumi darimana panen itu diperoleh.
  • Mereka yang memberi kurang dari sepersepuluh dari pendapatan mereka membatasi apa yang dapat Allah lakukan bagi mereka menurut firman-Nya “Bolehkah manusia menipu Allah? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata ‘Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau? Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus!” (Maleakhi 3). Walaupun sebagian kita percaya bahwa prinsip-prinsip itu hanya berlaku pada Perjanjian Lama, Paulus menegaskan bagi kita: “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (II Korintus 9:6). Kurang memberi merupakan indikator materi secara eksternal bahwa perlu diadakan perubahan dalam hal rohani.
4. Berikut ini disampaikan pemahaman tentang persembahan persepuluhan yang saya ambilkan dari internet (Catatan : di internet banyak sekali karangan tentang persembahan persepuluhan, tidak hanya puluhan tetapi ratusan karangan). Saya tidak sanggup membaca semua karangan, saya hanya menyampaikan beberapa saja. Saya mulai dari karangan dr. Charles Stanley (www.maleakhi.com) “Mengapa Persepuluhan itu penting?” yang menyampaikan a.l. sebagai berikut:
  • Prinsip perpuluhan sangat relevan dengan kehidupan sekarang. Namun banyak yang membuat berbagai macam alasan untuk tidak mengembalikan bagian 10% tersebut kepada Tuhan. Mereka mengeluhkan tentang krisis ekonomi dan PHK, beban pajak, pokoknya segala kemungkinan terburuk yang bisa mereka pikirkan. Mereka membiarkan keadaan menghalangi mereka memeberi, dan kemudian bertanya-tanya mengapa kehidupan mereka tidak bertambah baik? Bukankah keadaan sekarang sama saja dengan keadaan orang-orang yang tidak setia yang yang hidup di jaman Maleakhi? “Sejak zman nenek moyangmu, kamu telah menyimpang dari ketetapan-Ku dan tidka memeliharanya. Kembalilah kepada-Ku, maka Aku akan kembali kepadamu, firman Tuhan semesta alam. Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau?’ Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus!” (Maleakhi 3 :7-9)
  • Ketika kita memberikan persepuluhan kepada Tuhan, kita tidak hanya memberkati pekerjaan rumah Tuhan namun juga membuktikan kesetiaan-Nya dan menunjukkan penghormatan kita kepada Tuhan sebagai Sumber dari segala yang kita miliki dan satu-satunya Tuhan yang layak kita sembah. Kita membawa ke hadapan-Nya korban persembhan dan harta benda kita. Persepuluhan adalah sebuah contoh lain dari keadilan Tuhan kepada semua orang percaya; Tuhan menganggap semua orang percaya sejajar. Ia meminta jumlah yang sama (10%) dan bagian yang sama (bagian sulung, Amsal 3 : 9 - 10) dari semua orang percaya.
5. Herlianto dalam tulisannya (di www.yabina.org) “Persepuluhan?” menyampaikan pendapat sebagai berikut:
  • Ritus kurban & persembahan telah dihapuskan oleh Yesus yang menjadi pengantara Perjanjian Baru, namun kurban dan persembahan yang bersifat batin dalam bentuk keadilan, kesetiaan dan belas kasihan, Kita tidak lagi bermegah akan hal-hal yang bersifat lahiriah (I Korintus 5 : 11 - 21), persembahan Perjanjian Baru bukan lagi persembahan secara Torat dan kewajiban persepuluhan, tetapi buah-buah kasih yang keluar dari hati yang telah menerima kasih karunia Allah (Matius 13:23; Efesus 2:8-10).
  • Persembahan umat Kristen bukan lagi dalam bentuk persepuluhan tetapi merupakan buah-buah kasih yang keluar dari hati yang dibenarkan Allah. Mereka yang telah beriman dan bertobat akan hidup dalam mengasihi sesamanya dengan harta mereka (Kis. 2:44-45;34-35; Mat. 35:31-46; Luk. 18:22) dan menyisihkan dengan teratur persembahan sesuai dengan yang diperoleh (I Kor. 16:1-2; Gal. 6:6).
  • Ada yang mengemukakan ayat ‘Berilah maka kamu akan diberi’ (Luk 6:38) dengan motivasi persepuluhan PL (Mal. 3:10), tetapi penafsiran demikian jelas keliru, sebab sekalipun memang Tuhan akan memberi, itu sudah tidak lagi menjadi motivasi untuk memberi (seperti PL) melainkan sebagai karunia Allah dan itu tidak harus merupakan berkat jasmani karena penderitaan juga dapat menjadi karunia Allah (I Petrus 2:19). Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa : “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.” (Luk. 6:30). Persembahan Perjanjian Baru bukan agar mendapat (seperti PL) tetapi buah-buah yang keluar dari hati yang telah diperbaharui dan diberikan bukan dengan paksaan atau kewajiban tetapi dengan kerelaan dan sukacita (II Kor. 9:7) dengan tujuan untuk menghindarkan kesenjangan dalam bentuk pelayanan kasih (Kis. 4:34-35; II Kor. 8 : 1-15). Pemberian Kristen adalah perwujudan kasih Alah dalam diri kita (Mat. 22:37-40; I Yoh. 3:17).
  • Lalu berapa persembahan Kristen yang tepat? Perjanjian Baru tidak menentukan hal ini, bisa setengah dari harta yang dimiliki (Zakheus, Luk.9:8) bahkan ada yang memberikan seluruh nafkahnya (Mar. 12:41-44). Yang jelas buah-buah kasih tidak menentukan persentasi tertentu (Kis. 2:45;4:36-37), bahkan berbeda dengan sistem PL dimana persepuluhan itu lebih banyak dimanfaatkan oleh para imam tetapi mengabaikan para janda, yatim piatu, orang upahan, dan orang asing seperti yang diceritakan dalam kitab Maleakhi, PB banyak bercerita mengenai pemberian yang sifatnya untuk orang miskin (Luk. 18:18-27).
  • Berbeda dengan ibadat PL yang bersifat lahir yang berpusat di Bait Allah dan dilaksanakan oleh perantara para Imam, jadi sifatnya sentripetal (memusat), ibadat PB sifatnya sentrifugal (menjauhi pusat), artinya sebagai buah-buah kasih yang dibagikan kepada sesama manusia. Ini dengan jelas digambarkan oleh rasul Yohanes dalam suratnya, yaitu didasarkan: (1) kesediaan berkorban seperti Kristus yang telah berkorban untuk kita; (2) kepekaan lingkungan, yaitu peka terhadap kebutuhan rohani dan jasmani sesamanya; dan (3) kepedulian sosial dengan membagikan harta kita kepada sesama kita (I Yohanes 3 : 16 - 18).
  • Akhirnya, kalau begitu apakah umat Kristen boleh memberikan persembahan persepuluhan? Tentu tidak ada larangan bagi mereka yang ingin mendisiplinkan diri untuk menyisihkan suatu bagian secara teratur, tetapi kalau bisa memberi lebih dari itu mengapa harus dibatasi 10%? Dan kalau tidak bisa sebesar itu mengapa dipaksakan harus 10%? Namun, bila umat Kristen yang hidup dalam iman dan anugerah Allah masih melakukan persembahan persepuluhan menurut tatacara Yahudi PL, jelas dengan demikian ia melecehkan arti penebusan darah Yesus di kayu salib, seakan-akan penebusan Yesus belum tuntas melainkan harus ditambahi dengan usaha baik manusia.
6. Karangan berjudul “Sepuluh Persen Saja?” dalam http://wancil.singcat.com menyampaikan pemahamannya sbb.:
  • Melalui praktek-praktek sebagian gereja di masa kini, yang begitu giatnya merangsang, mendorong dan mengumpulkan persembahan persepuluhan, lalu digunakan untuk membangun gedung-gedung megah, maka tanpa sadar, banyak Gembala Sidang telah melantik dirinya menjadi Pemungut-cukai Gerejawi! Dan siapa saja yang berperilaku demikian, sesungguhnya sedang menghadang laknat yang TUHAN firmankan melalui Nabi Yehezkiel (perhatikan Ye. 34:24-4, 8-10). Intinya: bertobatlah, hai Pemungut-cukai Gerejawi, kembalikan persembahan milik TUHAN itu menjadi kemuliaan Tuhan Yesus!
  • Saudara yang terkasih, anda akan lebih menyadari betapa Yesus merindukan belas kasihan, bukan persembahan, jika anda menyadari kuasa di dalam belas-kasihan. Dan kuasa belas-kasihan jelas jauh lebih dahsyat dari pada kuasa yang timbul dari persembahan, maupun penyembahan!
  • Pasti anda tidak terpaku pada 10%. Persembahan sepuluh persen (saja) melecehkan TUHAN. Kepada Negara sajapun anda menyerahkan 15%. Pajak Pendapatan! Adalah indah jika anda berani menghabiskan lebih dari 15% pendapatan untuk pelayanan belas kasihan. Dalam situasi tertentu, mungkin anda berani habiskan 50% untuk berbelas kasihan. Toh semua itu tidak hilang, melainkan menjadi simpanan anda di Sorga. Selaras dengan perintah Yesus: Simpanlah hartamu di Sorga (Mat. 6:19-21)?
Dari beberapa cuplikan dari berbagai karangan di atas, setidaknya kita menemukan 3 pemahaman tentang persembahan persepuluhan, yakni:
  1. Persembahan persepuluhan harus, mutlak, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang, dan wajib hukumnya. Melanggar ketentuan ini akan mengakibatkan hidup tidak terberkati. Biasanya landasan Alkitab yang dipakai adalah Maleakhi 3.
  2. Persembahan persepuluhan itu patokan minimal. Bila bisa mempersembahkan lebih dari sepersepuluh, mengapa tidak! Misalnya 15% dari penghasilan. Itupun belum termasuk persembahan lainnya, misalnya: ibadat Minggu, ucapan syukur, dll.
  3. Persembahan persepuluhan tidak mengikat kita lagi karena Yesus Kristus telah menebus dosa-dosa kita. Bahkan kalau kita masih memiliki pemahaman bahwa dengan memberikan persembahan persepuluhan maka hidup kiita akan terberkati, maka sebenarnya kita telah meremehkan karya penebusan oleh Yesus Kristus.
Masing - masing pendapat biasanya menyatakan diri sebagai yang paling benar, karena masing-masing memiliki dasar Alkitabnya. Menghadapi kenyataan ini, kita harus bagaimana?Saya secara pribadi tidak memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa dari antara tiga pendapat di atas salah satunya adalah yang paling benar, walaupun masing-masing berpedoman pada Alkitab. Mengapa? Karena persembahan itu ditujukan untuk Tuhan. Hanya Tuhan yang berhak menilai atau menghakimi. Oleh karena itu saya tidak bisa -tidak mungkin- mewakili Tuhan untuk mengatakan bahwa pendapat nomor satu benar dan yang kedua dan ketiga salah, atau sebaliknya! Bandingkan dengan Kitab Kejadian 4 yang berisi cerita tentang persembahan oleh Kain dan Habil. Di pasal itu tidak ada penjelasan tentang mengapa persembahan Kain ditolak, sedangkan persembahan Habil diterima. Kalau demikian halnya, apakah itu berarti tidak ada pedoman untuk mengetahui apakah persembahan kita diterima atau ditolak oleh Tuhan?Sebelum saya menanggapi pertanyaan di atas dan menjawab bagaimana sikap kita terhadap persembahan persepuluhan, kita perlu memperhatikan bagaimana Alkitab sendiri bersaksi tentang persembahan persepuluhan. Di bawah ini akan disampaikan beberapa kesaksian Perjanjian Lama tentang persembahan persepuluhan.
  1. Imamat 27:32, mengenai segala persembahan persepuluhan dari lembu sapi atau kambing domba, maka dari segala yang lewat dari bawah tongkat gembala waktu dihitung, setiap yang kesepuluh harus menjadi persembahan kudus bagi Tuhan.
  2. Bilangan 18:21, mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan diantara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka. Pekerjaan pada Kemah pertemuan.
  3. Bilangan 18:24 sebab persembahan persepuluhan yang dipersembahkan orang Israel kepada Tuhan sebagai persembahan khusus Kuberikan kepada orang Lewi sebagai milik pusakanya; itulah sebabnya Aku telah berfirman tentang mereka: “Mereka tidak akan mendapat milik pusaka di tengah-tengah orang Israel.”
  4. Bilangan 18:26 “Lagi haruslah engkau berbicara kepada orang Lewi dan berkata kepada mereka: Apabila kamu menerima dari pihak orang Israel persembahan persepuluhan yang Kuberikan kepadamu dari pihak mereka sebagai milik pusakamu, maka haruslah kamu mempersembahkan sebagian dari padanya sebagai persembahan khusus kepada Tuhan, yakni persembahan persepuluhanmu dari persembahan persepuluhan itu…
  5. Ulangan 14:28, Pada akhir tiga tahun engkau harus mengeluarkan segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu dalam tahun itu dan menaruhnya di dalam kotamu;
  6. II Tawarikh 31:5, Segera setelah perintah ini tersiar, orang Israel membawa dalam jumlah yang besar hasil pertama dari pada gandum, anggur, minyak, madu dan segala macam hasil bumi. Mereka membawa juga persembahan persepuluhan dari segala sesuatu dalam jumlah yang besar.
  7. Nehemia 10:38, Seorang imam, anak Harun, akan menyertai orang-orang Lewi itu, bila mereka memungut persembahan persepuluhan. Dan orang-orang Lewi itu akan membawa persembahan persepuluhan dari pada persembahan persepuluhan itu ke rumah Allah kami, ke bilik-bilik rumah perbendaharaan.
  8. Maleakhi 3:10, Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai kelimpahan.
Dari ayat-ayat di atas, setidaknya kita menemukan beberapa macam praktek persembahan persepuluhan, yaitu:
  1. Persembahan persepuluhan untuk Tuhan (Imamat 27:32, mohon pasal 27 dibaca secara keseluruhan). Untuk saat ini mereka yang memahami persembahan persepuluhan ditujukan untuk Tuhan, maka mereka akan menyerahkan persembahan persepuluhannya ke gereja atau Lembaga Pelayanan Kristen di mana mereka menjadi anggotanya. Gereja melalui majelis Jemaatlah yang akan mengatur penggunaannya. Mereka tidak mau menyerahkan persembahan persepuluhan untuk pribadi pendeta atau tenaga gereja lainnya.
  2. Persembahan persepuluhan untuk manusia (dalam hal ini untuk kebutuhan hidup suku Lewi dan para imam, lihat Bilangan 18:24, dan banyak sekali ayat lainnya). Untuk saat ini bagi mereka yang memahami persembahan persepuluhan ditujukan untuk manusia, maka mereka akan menyerahkan persembahna persepuluhan kepada pribadi pendeta atau tenaga gereja lainnya. Mereka tidak mau menyerahkan persembahan persepuluhan ke Majelis Jemaat atau bendahara gereja, karena diimani akan melanggar perintah Tuhan.
  3. Persembahan persepuluhan setiap tahun ketiga (Ulangan 14:28). Dari ayat ini menjadi lebih jelas bahwa persembahan persepuluhan pada waktu itu ada aturannya. Misalnya: persembahan persepuluhan pada tahun pertama dan kedua dibawa ke Bait Suci untuk dinikmati bersama, sedangkan persembahan persepuluhan pada tahun ketiga tidak dibawa ke Bait Suci, tetapi masing-masing keluarga memberikannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya.
  4. Persembahan persepuluhan diterima sebagai pilihan antara berkat dan hukuman (Maleakhi 3:10). Mereka yang mendasarkan diri pada pemahaman hurufiah ayat ini cenderung selalu meyakini bahwa semakin diberkati. Gereja yang mempraktekkan persembahan persepuluhan secara disiplin, maka gereja itu akan “diberkati” (dalam arti tidak akan kekurangan dana). Bila tidak, maka akan terjadi sebaliknya.
Dari kutipan yang diambilkan hanya dari beberapa ayat di Alkitab sudah bisa kita temukan beberapa perbedaan pemahaman dan praktek tentang persembahan persepuluhan, belum lagi kalau kita mau menghubungkan persembahan persepuluhan dengan -misalnya- pelaksanaan tahun Yobel (tahun pembebasan), tentu akan lebih rumit lagi. Dengan demikian jelas bahwa persembahan persepuluhan ternyata ada bermacam-macam.
Bagaimana Sikap Kita?
1. Secara penghayatan iman (teologi) GKJW termasuk dalam lingkaran tradisi teologia Calvinis. Salah satu ciri khas teologia Calvinis adalah memahami Kitab Suci secara kontekstual (tidak ayat per ayat). Dalam gereja yang bercorak Calvinis jarang sekali ada diskusi khusus tentang persembahan persepuluhan. Karena memang dalam tradisi teologia Calvinis tidak pernah mengambil satu ayat di Kitab Suci menjadi pokok dogmatika. Kalau satu ayat lalu dijadikan pokok dogmatika akan sangat berbahaya, membingungkan, dan bahkan bisa mengacaukan kehidupan bersama. Sekedar contoh, kita ambil satu ayat dari Injil Matius 18:21-22. Kalau kita mengartikan ayat ini secara hurufiah sebagai kebenaran yang tidak bisa diartikan lain, maka setiap orang Kristen harus mengampuni mereka yang bersalah kepadanya sebanyak 490 kali, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang, sebab ini adalah perintah Tuhan Yesus sendiri! Padahal di bagian lain Tuhan Yesus ketika berhadapan dengan seorang wanita yang berbuat zinah hanya mengatakan “Aku pun tidak menghukum engkau!” (Yoh 8).Bukti bahwa gereja yang bercorak calvinis tidak memberi perhatian khusus pada persembahan persepuluhan dapat dilihat pada data berikut ini . Pada tahun 2003 di GKJW Jemaat Waru ditemukan data tentang persembahan persepuluhan sebagai berikut:a) Ada 4 (empat) orang dengan inisial tya, ats, gama3 dan grd yang secara disiplin (hampir setiap bulan) menyerahkan persembahan persepuluhan dengan jumlah berkisar antara Rp. 50.000; - Rp. 420.000;. Berarti rata-rata penghasilan lebih-kurang 3 juta rupiah/bulan.b) Ada satu NN (tanpa diketahui dari wilayah berapa) yang menyerahkan persembahan persepuluhan dengan jumlahnya antara Rp. 50.000; - Rp. 600.000;c) Ada beberapa NN dan nama-nama tertentu yang menyerahkan persembahan persepuluhan tetapi tidak rutin (setahun kadang dua atau tiga kali saja, maksimal 6 kali) dengan jumlah yang bervariasi antara Rp. 1.000; - Rp. 500.000;Catatan: Pernah ada satu kali persembahan persepuluhan sebesar Rp. 1.336.000,-.Dari data tahun 2003 di atas dapat disimpulkan: a) Warga jemaat yang secara ajeg mempraktekkan persembahan persepuluhan jumlahnya sangat sedikit, hanya 4 (empat) orang dari 570 keluarga (dibawah 1%); b) Agaknya ada pemahaman yang keliru tentang persembahan persepuluhan. Ada yang memahami persembahan persepuluhan sebagai persembahan yang diambilkan sepersepuluh dari penghasilan ekstra, bukan penghasilan rutin. Misalnya seseorang mendapatkan bonus dari tempat kerjanya 10 juta, maka satu juta (sepersepuluh) diserahkan ke gereja, dan itu dipahami sebagai persembahan persepuluhan, padahal itu sebenarnya persembahan syukur. c) Baru warga jemaat yang penghasilannya sekitar 3 juta rupiah/bulan ke bawah yang mempraktekkan persembahan persepuluhan.Data tahun 2004 tidak berbeda jauh dengan data tahun 2003, hanya ada beberapa tambahan (NN), dan yang berinisial: HN, DPH. Sedangkan data tahun 2005 (Januari-Maret) menunjukkan perubahan dengan semakin banyaknya warga jemaat (NN) yang menyerahkan persembahan persepuluhan dengan jumlah persembahan berkisar antara Rp. 5.000; - Rp. 400.000;. Dan semakin banyak warga jemaat dengan inisial tertentu yang menyerahkan persembahan persepuluhan: TYA, GRD, GAMA3, HN, ET, YK, LDS, WD, WM, DNG, PR, LGI, SG, VMMCS, MM, TP-1, DVN, DR, WA, JAB, AEXZ, Cah Kunjang, 3006, 3030, 3045, dsb. Jumlah yang dipersembahkan berkisar antara Rp. 15.000; - Rp. 1.150.000;.
Catatan:
  • Mungkin ada yang secara disiplin mengambil sepersepuluh dari penghasilannya lalu dimasukkan ke bank, dan uang itu baru diambil kalau gereja sangat membutuhkan. Bagi saya, cara ini pun tidak bisa disebut sebagai persembahan persepuluhan, baru sebatas memiliki semangat menyisihkan persembahan persepuluhan, belum mempraktekkan! Sebab salah satu makna penting persembahan adalah menyerahkan sebagian dari apa yang dimiliki untuk tidak lagi berada di bawah kekuasaannya.
  • Saya menduga juga ada yang telah menyerahkan persembahan sejumlah sepersepuluh secara rutin lewat persembahan bulanan.
  • Mungkin pula ada yang menyisihkan sepersepuluh dari penghasilannya untuk diberikan kepada orang/keluarga tertentu yang memerlukan pertolongan dalam bentuk, misalnya: beasiswa, secara rutin memberi kebutuhan beras, gula, dll.
  • Berbicara tentang persembahan tidak etis bila dasar pokoknya jumlah persembahan meningkat. Bagi gereja yang terpenting bukan jumlah, tetapi motivasi/sukacita dan rasa syukur serta kesadaran untuk mau ikut menanggung beban/kebutuhan gereja. Mereka yang motivasinya baik tidak mungkin sembarangan dalam memberikan persembahan.
2. Kitab Maleakhi 3 (ayat 10 khususnya) yang sering dijadikan dasar oleh aliran tertentu sebagai cara mempersembahkan yang paling benar, justru sebenarnya tidak tepat! Mengapa? Setidaknya ada beberapa alasan:
  • Di dalam kitab Perjanjian Lama jumlah persembahan sepersepuluh adalah jumlah persembahan yang terkecil. Berkaitan dengan jumlah persembahan di Perjanjian Lama, saya menemukan angka-angka sebagai berikut: sepersepuluh (terkecil), seperenam (Yehezkiel 45); seperempat (I Samuel 9); sepertiga (Nehemia 10); setengah (Keluaran 30). Kalau tidak menyebut angka, maka tentang persembahan akan disebut tentang “yang terbaik”, atau “yang tidak bercacat” (Kejadian 43; Keluaran 23). Pertanyaan: apakah kita akan menjadikan yang minimum (terkecil) sebagai yang paling benar?
    Catatan: saya senang kalau ada di antara Saudara yang bisa menemukan jumlah persembahan di bawah sepersepuluh di Perjanjian Lama, dan saya akan mengoreksi tulisan saya ini.
  • Kitab Maleakhi latar belakangnya adalah kehidupan umat Tuhan (pasca pembuangan) yang pada waktu itu sedang buruk keadaan sosial, ekonomi, dan keagamaannya. Keadaan itu menyebabkan mereka melupakan tanggung jawab untuk turut serta memelihara dan memperhatikan Bait Allah. Bahkan persembahan yang mestinya “terbaik dan tak bercacat”, mereka mempersembahkan “yang cemar” (baca pasal 1). Itu tanda bahwa hati mereka tidak menghormati dan tidak memuliakan Tuhan. Sikap ini menyebabkan mereka tidak mendapatkan berkat dari Tuhan sehingga Maleakhi mengingatkan agar mereka bertobat! Sebagai tanda pertobatan mereka diminta untuk memberikan persembahan, sekalipun dalam jumlah yang paling kecil (sepersepuluh).
    Inti kitab Maleakhi 3 adalah soal pertobatan bukan soal persembahan (baca karangan Sutrisno “Makna Persembahan Persepuluhan dalam Kitab Maleakhi 3:6-12″, skripsi di fakultas Teologia UKDW, th 1992, halaman 48-53; dan Robert C. Dentan ‘The Book of Malachi’ USA 1982, halaman 1117-1141). Justru yang perlu ditekankan pada kitab Maleakhi ini adalah ajaran yang indah, yaitu: sekalipun sedang menghadapi keadaan hidup yang paling buruk jangan melupakan kasih dan berkat Tuhan! (bandingkan cerita di Perjanjian Baru tentang persembahan dari seorang janda miskin)
  • Perintah untuk menyerahkan persembahan sepersepuluh, seperenam, atau berapa pun di Perjanjian Lama itu statusnya sama dengan perintah untuk -misalnya- mempersembahkan korban bakaran dari lembu yang tidak bercacat, dsb. (mohon dibaca lebih lanjut kitab Imamat dan kitab Bilangan). Apakah saat ini kita masih mau memberlakukan aturan-aturan ini: persembahan sepersepuluh, seperenam, korban sembelihan, korban bakaran, tidak boleh bekerja pada hari Sabat, sunat, makanan halal atau haram, beristri lebih dari satu? Tentu tidak! Perintah itu ditujukan untuk umat Tuhan yang masih dibawah kuasa hukum Taurat. (ingat tulisan saya tahun lalu “Memahami Makna Persembahan” yang menyatakan bahwa salah satu ciri khas teologia Perjanjian Lama adalah adanya hukuman dan berkat: “setia diberkati, tidak setia dihukum”). Saat ini kita sudah berada dibawah kuasa hukum Kristus. Hukum dan aturan di Perjanjian Lama sudah digenapi oleh Yesus kristus, sehingga siapa yang percaya kepada Yesus kristus tidak lagi berada dibawah hukum Taurat. Perhatikan Roma 7:4 “Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah.”
  • Diduga kitab Maleakhi 3:10 menjadi amat terkenal karena pada ayat tersebut dijanjikan berkat tercurah (”… tingkap-tingkap langit akan terbuka dan berkat akan tercurah…”), jadi bukan semata-mata ingin memberikan persembahan yang terbaik, mengapa tidak meniru, misalnya Zakheus (tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat. Kata Yesus kepadanya: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini…”-Luk. 19:8) atau janda miskin (memberikan semua yang dimiliki-Markus 12).
  • Ada dasar tentang persembahan yang jauh lebih tepat, karena tidak hanya menyangkut uang dan harta benda, tetapi hati dan bahkan kehidupan itu sendiri. Misalnya: Matius 19: 16-22; Markus 12:42; Lukas 19:8; Roma 12:1; Yakobus 1:27.
  • Secara praktis persembahan persepuluhan bisa memunculkan banyak sekali pertanyaan. Satu contoh kecil saja. Pak Dadap dan Pak Waru penghasilannya masing-masing sejuta rupiah/bulan. Pak Dadap masih lajang dan tidak menanggung beaya hidup siapa pun, sedangkan Pak Waru sudah berkeluarga dengan 3 anak yang masih sekolah. Apakah persembahan Pak Dadap dan Pak Waru baru bisa dikatakan benar kalau masing-masing menyerahkan seratus ribu (sepersepuluh dari sejuta)? Atau, Pak Dadap mendapat hadiah sebuah mobil Kijang Inova, dan itu dihayati sebagai berkat Tuhan! Bagaimana mengenakan persepuluhannya? Apakah dihitung dengan cara menaksir nilai jual mobil itu, lalu sepersepuluhnya dipersembahkan? Bagaimana kalau Pak Dadap tak punya uang sebesar sepersepuluh dari nilai harga jual mobil itu?
3. Kalau begitu, apakah saat ini menyerahkan persembahan persepuluhan itu salah? Menyerahkan Persembahan sepersepuluh dari penghasilan itu boleh bahkan amat baik kita lakukan, asal dengan motivasi yang baik, yaitu: a) untuk mengucap syukur secara teratur atas kasih dan berkat keselamatan dari Tuhan yesus Kristus; b) untuk melatih diri agar kerohanian kita semakin baik dan tidak menempatkan harta-uang sebagai yang utama dalam hidup (mengikis sifat egoisme - materialisme). c) tidak menjadikan angka sepersepuluh sebagai hukum mutlak! Namun demikian menyerahkan persembahan sepersepuluh dari penghasilan bisa saja salah kalau motivasinya tidak benar, misalnya: a) menganggap itu sebagai persembahan yang paling benar; b) ditujukan untuk mendapatkan berkat berlimpah; c) takut kalau tidak memperoleh berkat! Kalau ini yang terjadi, maka sebenarnya persembahan itu arahnya kepada diri sendiri, bukan kepada Tuhan.
Catatan-catatan praktis



  1. Persembahan itu bukan “sesajen”. Persembahan Kristen itu murni sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat dan kasih keselamatan dari Tuhan, jadi motivasinya semata-mata ingin mengungkapkan rasa syukur. Beda dengan sesajen yang senantiasa diiringi dengan permintaan-permintaan tertentu. Sedangkan dalam doa kita bisa menyampaikan segala macam permohonan kita, sejauh permohonan itu tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan.
  2. Untuk saat ini yang disebut dengan istilah persembahan persepuluhan hakekatnya sama dengan persembahan bulanan. Jadi warga jemaat yang telah menyerahkan persembahan persepuluhan, mestinya tidak perlu lagi mengisi persembahan bulanan.
  3. Saya pribadi menyatakan penghargaan yang amat tinggi kepada warga jemaat yang dengan motivasi yang benar telah mampu mempraktekkan persembahan sebesar sepersepuluh dari penghasilannya setiap bulan atau setiap mendapatkan penghasilan. Penghargaan itu disampaikan bukan karena gereja memiliki semakin banyak uang, melainkan karena semangat hidup saudara yang tidak mau jatuh dalam kerakusan dan mendewakan uang. Semoga kemurahan hati yang telah tumbuh itu menjadi sarana bagi Saudara untuk semakin melihat bahwa keindahan dan kebahagiaan hidup itu memang tidak ditentukan oleh uang. H Nadesul menulis sebagai berikut, “Riset membuktikan uang telah gagal mengatrol kebahagiaan. Studi sejak tahun 1950-an mengungkapkan, kebahagiaan tidak bertambah dengan uang yang bertambah. Tak ada batas tertinggi berapa kecukupan itu. Sayang banyak orang lupa, tidak semua bisa dibeli dengan uang…Semakin banyak orang di dunia kena penyakit tak bermakna (neurosis noogenic)” - Kompas, 13 April 2005 halaman 5 dengan judul ‘Tikus Juga Doyan Uang’. Perhatikan pula kitab Pengkhotbah 5: 9-10.
  4. Penghargaan yang tulus juga saya tujukan kepada warga jemaat yang dengan penuh kesungguhan dan ketulusan hati berupaya dan mempraktekkan memberikan persembahan dengan sebaik-baiknya. Bagi saya, jumlah tidak menjadi soal, entah 1%, 2% atau berapa pun dari penghasilan, yang paling penting adalah semuanya kita serahkan dengan hati dan sikap hidup yang memuji dan memuliakan Tuhan. Gereja bukan tempat untuk mengumpulkan uang, tetapi sebagai sarana untuk menghayati dan memberlakukan kehendak Kristus dengan sebaik-baiknya.
  5. Bagi warga jemaat yang telah secara ajeg menyerahkan persembahan persepuluhan disarankan untuk mempertahankan semangat itu, dengan catatan: yagn ada didalam hatinya bukan keinginan untuk mendapatkan pengembalian berkat materi berlipat, tetapi benar-benar sebagai ungkapan rasa syukur!
  6. Ada banyak warga jemaat -yang saya tahu- telah memberikan persembahan yang nilainya tidak bisa diukur dengan uang, misalnya: waktu, tenaga, pikiran, kesetiaan.
  7. Pranata GKJW menyatakan bahwa setiap warga dewasa (sudah sidhi) mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk turut memikul kebutuhan gereja, dan hal ini antara lain diwujudkan dengan memberikan persembahan bulanan. Bagi warga jemaat tertentu mungkin tidak mudah menentukan kelayakan dalam mengisi persembahan bulanan. Supaya kita tidak mengisi persembahan bulanan ala kadarnya atau asal mengisi, barangkali pengalaman gereja di Belanda bisa dijadikan bahan pertimbangan . Gereja-gereja di Belanda mempunyai ketentuan umum untuk warga jemaat dewasa (sudah sidhi), yakni menyerahkan setidaknya 2% dari penghasilannya ke gereja. Tentu angka 2% tidak tinggi, tetapi itu bisa dipakai sebagai tahap awal untuk belajar memberikan persembahan secara sadar, teratur, dan bertanggungjawab. Biarlah dengan berjalannya waktu yang disertai pertumbuhan rohani kita, maka angka 2% bisa terus ditingkatkan sedikit demi sedikit. Semoga! 

Jumat, 14 April 2017

Jemaat Yang Misioner

 “Teriakan untuk perdamaian (hanya) akan menjadi seperti suara orang yang berseru di padang belantara kalau roh nir-kekerasan itu tidak menguasai jutaan laki-laki dan perempuan”
Mohandas K. Gandhi yang dikenal sebagai Mahatma Gandhi

Visi misiologis membawa gereja ke dalam dua kutub yang seringkali saling bertentangan. Di satu sisi kita menemukan gereja yang agresif dalam visi ini, di sisi lain kita bertemu dengan gereja pasif. Gereja-gereja yang mengambil langkah agresif dengan tekun  menyuarakan komitmen misiologis mereka berharap agar seluruh dunia menjadi Kristen dengan cara yang mereka kenal, dengan konsep keselamatan yang sudah mereka hapal di luar kepala, bahkan tidak jarang mereka kembali ‘menobatkan’ orang-orang yang sudah Kristen, karena mereka menganggap Kekristenan orang-orang tersebut belum utuh dan sempurna sebelum mereka berpaling pada hermeneutik mereka tentang tradisi gereja yang benar, menurut mereka. Konsep kontekstualisasi pada lokalitas membuat mereka gerah. Konsep yang benar bagi mereka adalah kembali kepada tradisi Alkitab sampai ke titik koma, karena Alkitab adalah sepenuhnya firman Tuhan yang tidak boleh dilanggar. Hingga kadang mereka lupa bahwa Alkitab juga mempunyai konteks penulisannya sendiri.
Sedang di sisi lain kita melihat gereja-gereja yang adem ayem. Adem ayem karena mereka sudah punya masa, sudah punya bangunan gereja, sudah punya organisasi yang jelas, sudah punya pendeta dengan gaji yang cukup, sudah punya tradisi yang dibukukan. Namun bersamaan dengan kenyamanan yang terjalin itu mereka menjadi enggan melihat ke luar, kesibukan mereka adalah pada bagaimana organisasi yang bernama gereja ini bertahan hidup. Hingga kadang mereka melewatkan panggilan misiologis gereja, yang justru merupakan salah satu panggilan terpenting orang percaya.
Tentu tidak sedemikian buruk dalam realitasnya. Tapi untuk melihat sesuatu, seringkali kita harus membawanya pada batas-batas terburuknya. Ketika kita siap dengan kondisi terburuk, maka kondisi yang biasa-biasa saja pasti sudah termasuk dalam perhitungan yang kita pikirkan. Seperti halnya yang dikatakan Stephen R. Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People, “Orang yang sukses biasanya adalah orang yang berhasil dalam plan B, rencana terburuk.” Untuk visi misiologis dalam gereja, prinsip ini rasanya bisa menjadi pertimbangan juga.
Antara Metode dan Prinsip
Dua hal yang seringkali dicampuradukkan dalam praktik bahkan dalam perumusan idea adalah prinsip dan metode. Prinsip yang sebenarnya adalah dasar, landasan, bahkan tujuan, seringkali menjadi hitungan kedua setelah metode yang tak lain hanyalah cara mewujudkan prinsip tersebut. Diskusi mengenai proses dan hasil ini memang menjadi diskusi yang seringkali begitu dikotomis, kita meletakkan dua hal ini dalam polar yang saling berkebalikan, saling menegasi, saling bertentangan dengan tanpa sadar kita meletakkan salah satu sebagai subversi dari yang lain. Kita yang begitu menghargai prinsip serta merta menomorduakan metode, begitu juga sebaliknya. Tanpa kita sadari keduanya punya porsi yang tidak bisa saling dihilangkan. Dua-duanya tidak berada dalam hubungan satu lebih rendah daripada yang lain, tetapi keduanya tetap harus dipisahkan karena naturnya memang berbeda.
Dalam komitmen misiologis gereja, prinsip utama yang harus dipegang tidak lain adalah Amanat Agung Yesus Kristus dalam Mat. 28: 19-20:
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Prinsip ini adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam sebuah komitmen misiologis gereja. Ada dua hal yang menjadi penekanan dalam ayat tersebut, yaitu:
1.      “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” yang merupakan ajakan supaya gereja bergerak ke luar dari lingkarannya, ke dalam dunia yang lebih luas untuk menjadilah semua bangsa murid Yesus dengan cara membaptiskan mereka. Membawa jiwa-jiwa untuk mengenal Yesus, dalam hal ini dalam kaitannya dengan Bapa dan Roh Kudus.
2.      “Ajarlah mereka melakukan …” yang merupakan perintah untuk tidak hanya sibuk mencari jiwa, tetapi bagaimana membawa jiwa-jiwa yang mengenal Yesus itu untuk melakukan apa yang menjadi kehendak Yesus, yang tak lain adalah seluruh karya Yesus di dunia, yang pada akhirnya membawa pengerucutan pada kata kasih. Kasih yang tidak murahan tetapi kasih yang pemurah itu.
Berbicara mengenai gereja yang misioner sebenarnya adalah berbicara mengenai  bagaimana gereja bisa memenuhi komitmen misiologis yang terkandung dalam Amanat Agung tersebut. Bagaimana prinsip yang terkandung dalam Amanat Agung itu sepenuhnya diwujudkan, tetapi dengan metode yang kontekstual, metode yang menghargai keragaman konteks di mana Injil itu akan disebar. Sekali lagi  perlu mendapat penekanan yang cukup tegas di sini, prinsip dan metode tidak bisa serta merta dicampuradukkan.
Menelusur Sumber Konflik Misiologis
Sebelum kita merumuskan bagaimana seharusnya jemaat yang misioner, ada  baiknya kita melihat kegagalan-kegagalan misi yang selama ini terjadi. Yang dimaksud dengan kegagalan di sini bukanlah kegagalan untuk mendapatkan orang-orang atau jiwa-jiwa, tetapi kegagalan yang lebih prinsipial, lebih ideologis. Kegagalan yang dimaksud adalah kegagalan mewujudkan prinsip komitmen misiologis dengan metode kontekstual. Dengan bahasa yang jauh lebih gamblang (dan jujur) bisa dikatakan demikian: mengapa misi yang dilakukan oleh suatu gereja pada akhirnya justru bertentangan dengan misi di gereja lain? Yaitu ketika misi ini tidak membuat kesatuan denominasi gereja menjadi kuat dalam wahana keselamatan universal Yesus Kristus, tetapi justru menjadi konflik yang tidak sehat. Ketika kita sampai pada ranah ini sebenarnya kita juga sedang mengupas mengapa pada akhirnya misi tidak menambah jumlah orang yang percaya dan melakukan kehendak Yesus, tetapi kita hanya mengubah doktrin demi menambah serikat gereja atau denominasi kita dari orang yang sebelumnya sudah mengaku percaya.
Iman adalah hal yang sangat rawan, karena iman berada dalam ruang yang tidak material. Iman bukan sesuatu yang secara fisik bisa disentuh, dilihat, dirasa, dicium, didengar. Iman berada dalam ruang yang samar-samar, dan memang harus diakui naturnya memang demikian. Misi adalah usaha untuk menjadikan orang bersentuhan dengan perkara iman yang demikian. Karena itu misi pertama-tama tidak bisa dilihat sebagai suatu hal yang bisa dihitung secara kuantitatif, karena hitungan yang tepat untuknya (berdasarkan naturnya) mau tidak mau memang hitungan kualitatif.
Inilah yang seringkali dilupakan oleh gereja-gereja dalam usaha misi mereka. Seringkali hitungan gereja menggunakan hitungan ekonomi, semakin banyak orang yang percaya maka semakin sukses upaya misi yang dilakukan gereja tersebut. Ini adalah paradigma yang keliru. Seperti halnya paradigma bahwa konflik berdarah-darah dalam perang bersenjata lebih buruk daripada perang ekonomi, seperti konsep di India ketika mereka ngeri melihat darah tertumpah, lembu terbantai, tetapi mewajarkan penganiayaan dan kekerasan non-fisik seperti korupsi karena kerakusan. Dalam misi, kita lebih terganggu dengan sesuatu yang bersifat material, tetapi justru tidak terlalu terganggu dengan sesuatu yang bersifat non-material, spiritual, yang sebenarnya justru menjadi fokus sebuah misi.
Gereja yang begitu agresif dalam misinya seringkali begitu berbangga ketika banyak orang masuk ke dalam gerejanya. Mereka memberitakan Yesus yang menyelamatkan, misi  yang berpangkal pada baptisan, tapi melupakan bahwa dalam misi-Nya, Yesus justru sangat terbuka pada perbedaan: Yesus yang membiarkan perempuan Siro-Fenisia tetap pada imannya, Yesus yang membiarkan Nikodemus tetap pada profesinya sebagai pemimpin agama Yahudi. Mereka melupakan bahwa Yesus yang tidak mengajarkan Kerajaan Allah dengan cara doktrin per doktrin tetapi justru dengan perumpamaan, supaya tafsir orang pada akhirnya menjadi lebih luas daripada pada doktrin yang kaku dan pragmatis. Gereja-gereja yang demikian tidak jarang dengan mudah menyesat-sesatkan gereja yang tidak sealiran dengannya. Bukan membuat perdamaian menjadi salah satu agenda, tetapi semakin melebarkan jurang permusuhan antargereja. Prinsip Amanat Agung yang mereka lewatkan adalah mengajar mereka melakukan kehendak Yesus, karena sudah terpaku pada doktrin bahwa ajaran Yesus tidak  lagi bisa ditafsirkan sesuai dengan konteks jaman sekarang yang begitu plural.
Di sisi lain, kita bertemu dengan gereja yang adem ayem, mereka yang merasa sudah mempunyai anggota yang cukup, mereka berhenti dalam tugas misi mereka. Dengan tenang mereka mengatakan bahwa iman adalah semata-mata urusan personal, yang tak lain sebenarnya adalah dalih bahwa mereka juga begitu terpaku pada paradigma bahwa doktrin mereka sudah benar, sudah baku dan tidak bisa lagi-lagi diutak-atik. Dalam misi mereja menjadi pasif, mereka menunggu orang datang, bukan mengajak orang untuk ikut serta. Gereja yang demikian merasa bahwa ketika terjadi pembaptisan, maka itu sudah cukup, dan mereka lalai bahwa dalam Amanat Agung, baptisan adalah penjumlahan dari upaya gereja untuk pergi dan menjadikan bangsa-bangsa murid-Nya. Sebuah bahasa yang lebih tepat dibunyikan sebagai kebutuhan proaktif daripada sekadar kebutuhan reaktif.
Pertentangan misi ini membuat gereja-gereja, kalau boleh jujur dan berani, sibuk mengurusi domba-domba gereja lain, bahkan gembala-gembala gereja lain (yang sebenarnya sudah masuk ke dalam lingkaran, dan seharusnya tinggal “diajar melakukan”) dan lupa kepada dunia yang sebenarnya justru menjadi sasaran misi. Yang satu sangat sibuk dengan komitmen misi yang sempit, karena misi hanya dimengerti dalam paradigma mereka sebagai membawa jiwa-jiwa ke dalam gerejanya dan bukan kepada Yesus yang universal, yang justru tetap beragama Yahudi itu (walaupun Yesus membawa angin baru bagi Yudaisme). Sedangkan yang satu begitu sibuk dengan komitmen teologis yang sempit hingga melupakan bahwa misi perlu upaya proaktif, pergi dan bergerak ke luar. Misi antargereja ini lalu tidak membawa damai sejahtera, tetapi membuat perseitrgangan antargereja menjadi lebih kompleks. Keragaman teologi kemudian justru menjadi perbedaan yang memecah, bukan kekayaan yang patut senantiasa menjadi diskursus.
Merumuskan Gereja yang Misioner
Pertanyaan terbesar kemudian yang muncul adalah bagaimana secara nyata wujud gereja yang misioner itu, bagaimana gereja menanggapi panggilan dan komitmen misiologisnya? Rumusan yang akhirnya disusun dalam paper ini, mau tidak mau tidak pertama-tama berangkat dari konsekuensi metodologis, tetapi dari prinsip ideologis dari dasar misiologis. Karena sekali lagi, metode adalah cara, metode bisa beragam asalkan setia pada prinsipnya dan kontekstual. Demi konsistensi dan pertanggungjawaban etis, kita sedikit perlu mengurai bagaimanakah kesetiaan pada prinsip  dan kontekstualitas ini.
1.      Setia pada prinsip (tekstual), berarti bahwa misi yang dilakukan harus berangkat dari pedoman yang terdapat dalam Alkitab. Alkitab tentu saja bisa ditafsirkan sedemikian rupa, dengan metode penafsiran yang beragam (historis kritis, naratif, ideologis, sosiologis, feminis, dll.) tetapi tetap tidak mengurangi dan bertanggungjawab pada Alkitab tersebut sebagai dasar tekstualnya. Dalam paper ini, secara khusus titik berangkat misiologi adalah Amanat Agung Yesus Kristus. Misi tidak boleh melupakan dua pokok yang terkandung dalam amanat agung seperti dijelaskan di atas.
2.      Kontekstual. Kata konteks merujuk pada budaya, kondisi sosial, politik, ekonomi, tradisi, sejarah yang terdapat di suatu tempat. Upaya teologi kontekstual merupakan upaya mendekatkan teologi pada berbagai lapisan penerimanya, sehingga teologi tidak dilihat semata-mata menggunakan kacamata dunia Barat. Tanpa disadari teologi yang berkembang di Indonesia sangat bernuansa Barat, dan itu melemahkan, Alasan yang digunakan biasanya adalah pemurnian teologi, padahal sebenarnya kita sedang berada di bayang-bayang hermeneutik para teolog Barat, para bapa gereja yang kadang tidak senantiasa tepat ketika dihadapkan pada konteks Indonesia. Karena sebenarnya para bapa gereja itu pun berangkat dari konteks keberadaan mereka saat itu, misalnya Agustinus menggunakan secara kritis filsafat Plato, Thomas Aquinas menggunakan filsafat Aristoteles, Calvin lain lagi karena sangat bernuansa Renaisans, para teolog pembebasan menggunakan konteks penindasan rasial dan di Afrika Selatan. Dari teologi kontekstual ini kemudian muncul teologi kerbau di Asia, teologi feminis, bahkan teologi sukses. Teologi kontekstual adalah kesadaran bahwa cara orang menerima Tuhan dan berteologi secara operasional mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh konteks keberadaannya. Misi pun tampaknya harus kontekstual, seperti halnya Paulus yang menyatakan bahwa ketika dia bersama orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, ketika bersama orang Yunani aku menjadi seperti orang Yunani. Teologi kontekstual bukanlah teologi yang plin plan tetapi teologi yang menghitung konteks keberadaan penerimanya.
Lalu bagaimanakah teologi yang secara prinsip seharusnya menjadi dasar bagi gereja untuk menjalankan komitmen misiologisnya. Ada beberapa catatan penting yang harus selalu dipertimbangkan, bukansalah satunya tetapi seluruhnya, yaitu:
1.      Meneladan Yesus. Misi sebeneranya adalah tanggungjawab yang didelegasikan oleh Yesus kepada pengikutnya. Yesus sendirilah yang sebenarnya memulai upaya misi dengan menafsirkan ulang kepercayaan Yahudi. Ketika menafsirkan sesuatu Yesus tetap berpegang pada kitab-kitab Yahudi, tetapi menambahkan sesuatu yang lebih daripada tafsiran yang selama ini ada, sesuatu yang lebih itu tidak lain adalah kasih universal. Kita bisa melihat bagaimana Yesus menafsirkan misalnya ketika Dia berkhotbah di bukit. Seharusnya upaya misi juga berangkat dari bagaimana Yesus melakukan misinya, upaya yang dilakukannya adalah yang dilakukan dalam damai, kasih. Bukan pertama-tama untuk menghakimi kepercayaan seseorang, tetapi untuk membawa kepercayaan itu ke tingkat yang lebih tinggi dari yang selama ini telah dicapai.
2.      Dua hal berjalan bersama. Dari Kis. 2: 47, ada dua hal yang berjalan bersama dalam misi gereja perdana yaitu “menambahkan jumlah mereka … dengan orang yang diselamatkan.” Ada penambahan jumlah orang percaya, tetapi bukan hanya percaya tetapi diselamatkan. Tentu ini lebih bersifat transenden daripada imanen, bahwa yang berhak menilai seseorang sebagai percaya dan diselamatkan bukanlah sang misionaris, bukanlah manusia tetapi Tuhan. Keselamatan dan keanggotaan gereja seharusnya adalah dua hal yang berjalan beriringan, ini adalah kritikan keras bagi penekanan salah satu saja, penekanan pada seolah-olah kuantitas dengan misi yang agresif, atau penekanan pada seolah-olah kualitas pada misi yang pasif.
3.      Bukan demi gereja, tetapi demi terwujudnya tanda-tanda kehadiran Allah di dunia. Ini adalah catatan penting untuk misi sebuah gereja. Ketika misi dijalankan oleh gereja sekadar untuk gerejanya, maka yang terwujud tidak jarang adalah upaya ‘menobatkan’ orang yang sudah Kristen supaya bergabung dengan gerejanya. Ini bukanlah tugas pertama misi, tugas pertama misi adalah membawa orang ke dalam Yesus dan mengajar orang itu untuk melakukan apa yangmenjadi kehendak Yesus.

Pada akhirnya, John Stott dalam tulisannya menyatakan bahwa ada empat hal yang bisa menjadi tolak ukur apakah sebuah misi berjalan dengan tepat ataukah tidak, empat hal itu berhubungan dengan relasi antarorang percaya, tentu saja dalam keragaman denominasi mereka. Empat hal tersebut adalah apakah orang-orang percaya bertekun pada ajaran para rasul sesuai dengan ajaran Yesus, apakah hubungan atau relasi ini terjalin baik satu sama lain, apakah mereka berhubungan dengan baik dengan Allah, dan apakah mereka berhubungan baik dengan dunia luar dalam menjadi saksi Yesus. Gereja yang misioner tampaknya tidak bisa menghilangkan salah satu variabel dari keempat variabel ini.