Jumat, 14 April 2017

Jemaat Yang Misioner

 “Teriakan untuk perdamaian (hanya) akan menjadi seperti suara orang yang berseru di padang belantara kalau roh nir-kekerasan itu tidak menguasai jutaan laki-laki dan perempuan”
Mohandas K. Gandhi yang dikenal sebagai Mahatma Gandhi

Visi misiologis membawa gereja ke dalam dua kutub yang seringkali saling bertentangan. Di satu sisi kita menemukan gereja yang agresif dalam visi ini, di sisi lain kita bertemu dengan gereja pasif. Gereja-gereja yang mengambil langkah agresif dengan tekun  menyuarakan komitmen misiologis mereka berharap agar seluruh dunia menjadi Kristen dengan cara yang mereka kenal, dengan konsep keselamatan yang sudah mereka hapal di luar kepala, bahkan tidak jarang mereka kembali ‘menobatkan’ orang-orang yang sudah Kristen, karena mereka menganggap Kekristenan orang-orang tersebut belum utuh dan sempurna sebelum mereka berpaling pada hermeneutik mereka tentang tradisi gereja yang benar, menurut mereka. Konsep kontekstualisasi pada lokalitas membuat mereka gerah. Konsep yang benar bagi mereka adalah kembali kepada tradisi Alkitab sampai ke titik koma, karena Alkitab adalah sepenuhnya firman Tuhan yang tidak boleh dilanggar. Hingga kadang mereka lupa bahwa Alkitab juga mempunyai konteks penulisannya sendiri.
Sedang di sisi lain kita melihat gereja-gereja yang adem ayem. Adem ayem karena mereka sudah punya masa, sudah punya bangunan gereja, sudah punya organisasi yang jelas, sudah punya pendeta dengan gaji yang cukup, sudah punya tradisi yang dibukukan. Namun bersamaan dengan kenyamanan yang terjalin itu mereka menjadi enggan melihat ke luar, kesibukan mereka adalah pada bagaimana organisasi yang bernama gereja ini bertahan hidup. Hingga kadang mereka melewatkan panggilan misiologis gereja, yang justru merupakan salah satu panggilan terpenting orang percaya.
Tentu tidak sedemikian buruk dalam realitasnya. Tapi untuk melihat sesuatu, seringkali kita harus membawanya pada batas-batas terburuknya. Ketika kita siap dengan kondisi terburuk, maka kondisi yang biasa-biasa saja pasti sudah termasuk dalam perhitungan yang kita pikirkan. Seperti halnya yang dikatakan Stephen R. Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People, “Orang yang sukses biasanya adalah orang yang berhasil dalam plan B, rencana terburuk.” Untuk visi misiologis dalam gereja, prinsip ini rasanya bisa menjadi pertimbangan juga.
Antara Metode dan Prinsip
Dua hal yang seringkali dicampuradukkan dalam praktik bahkan dalam perumusan idea adalah prinsip dan metode. Prinsip yang sebenarnya adalah dasar, landasan, bahkan tujuan, seringkali menjadi hitungan kedua setelah metode yang tak lain hanyalah cara mewujudkan prinsip tersebut. Diskusi mengenai proses dan hasil ini memang menjadi diskusi yang seringkali begitu dikotomis, kita meletakkan dua hal ini dalam polar yang saling berkebalikan, saling menegasi, saling bertentangan dengan tanpa sadar kita meletakkan salah satu sebagai subversi dari yang lain. Kita yang begitu menghargai prinsip serta merta menomorduakan metode, begitu juga sebaliknya. Tanpa kita sadari keduanya punya porsi yang tidak bisa saling dihilangkan. Dua-duanya tidak berada dalam hubungan satu lebih rendah daripada yang lain, tetapi keduanya tetap harus dipisahkan karena naturnya memang berbeda.
Dalam komitmen misiologis gereja, prinsip utama yang harus dipegang tidak lain adalah Amanat Agung Yesus Kristus dalam Mat. 28: 19-20:
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Prinsip ini adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam sebuah komitmen misiologis gereja. Ada dua hal yang menjadi penekanan dalam ayat tersebut, yaitu:
1.      “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” yang merupakan ajakan supaya gereja bergerak ke luar dari lingkarannya, ke dalam dunia yang lebih luas untuk menjadilah semua bangsa murid Yesus dengan cara membaptiskan mereka. Membawa jiwa-jiwa untuk mengenal Yesus, dalam hal ini dalam kaitannya dengan Bapa dan Roh Kudus.
2.      “Ajarlah mereka melakukan …” yang merupakan perintah untuk tidak hanya sibuk mencari jiwa, tetapi bagaimana membawa jiwa-jiwa yang mengenal Yesus itu untuk melakukan apa yang menjadi kehendak Yesus, yang tak lain adalah seluruh karya Yesus di dunia, yang pada akhirnya membawa pengerucutan pada kata kasih. Kasih yang tidak murahan tetapi kasih yang pemurah itu.
Berbicara mengenai gereja yang misioner sebenarnya adalah berbicara mengenai  bagaimana gereja bisa memenuhi komitmen misiologis yang terkandung dalam Amanat Agung tersebut. Bagaimana prinsip yang terkandung dalam Amanat Agung itu sepenuhnya diwujudkan, tetapi dengan metode yang kontekstual, metode yang menghargai keragaman konteks di mana Injil itu akan disebar. Sekali lagi  perlu mendapat penekanan yang cukup tegas di sini, prinsip dan metode tidak bisa serta merta dicampuradukkan.
Menelusur Sumber Konflik Misiologis
Sebelum kita merumuskan bagaimana seharusnya jemaat yang misioner, ada  baiknya kita melihat kegagalan-kegagalan misi yang selama ini terjadi. Yang dimaksud dengan kegagalan di sini bukanlah kegagalan untuk mendapatkan orang-orang atau jiwa-jiwa, tetapi kegagalan yang lebih prinsipial, lebih ideologis. Kegagalan yang dimaksud adalah kegagalan mewujudkan prinsip komitmen misiologis dengan metode kontekstual. Dengan bahasa yang jauh lebih gamblang (dan jujur) bisa dikatakan demikian: mengapa misi yang dilakukan oleh suatu gereja pada akhirnya justru bertentangan dengan misi di gereja lain? Yaitu ketika misi ini tidak membuat kesatuan denominasi gereja menjadi kuat dalam wahana keselamatan universal Yesus Kristus, tetapi justru menjadi konflik yang tidak sehat. Ketika kita sampai pada ranah ini sebenarnya kita juga sedang mengupas mengapa pada akhirnya misi tidak menambah jumlah orang yang percaya dan melakukan kehendak Yesus, tetapi kita hanya mengubah doktrin demi menambah serikat gereja atau denominasi kita dari orang yang sebelumnya sudah mengaku percaya.
Iman adalah hal yang sangat rawan, karena iman berada dalam ruang yang tidak material. Iman bukan sesuatu yang secara fisik bisa disentuh, dilihat, dirasa, dicium, didengar. Iman berada dalam ruang yang samar-samar, dan memang harus diakui naturnya memang demikian. Misi adalah usaha untuk menjadikan orang bersentuhan dengan perkara iman yang demikian. Karena itu misi pertama-tama tidak bisa dilihat sebagai suatu hal yang bisa dihitung secara kuantitatif, karena hitungan yang tepat untuknya (berdasarkan naturnya) mau tidak mau memang hitungan kualitatif.
Inilah yang seringkali dilupakan oleh gereja-gereja dalam usaha misi mereka. Seringkali hitungan gereja menggunakan hitungan ekonomi, semakin banyak orang yang percaya maka semakin sukses upaya misi yang dilakukan gereja tersebut. Ini adalah paradigma yang keliru. Seperti halnya paradigma bahwa konflik berdarah-darah dalam perang bersenjata lebih buruk daripada perang ekonomi, seperti konsep di India ketika mereka ngeri melihat darah tertumpah, lembu terbantai, tetapi mewajarkan penganiayaan dan kekerasan non-fisik seperti korupsi karena kerakusan. Dalam misi, kita lebih terganggu dengan sesuatu yang bersifat material, tetapi justru tidak terlalu terganggu dengan sesuatu yang bersifat non-material, spiritual, yang sebenarnya justru menjadi fokus sebuah misi.
Gereja yang begitu agresif dalam misinya seringkali begitu berbangga ketika banyak orang masuk ke dalam gerejanya. Mereka memberitakan Yesus yang menyelamatkan, misi  yang berpangkal pada baptisan, tapi melupakan bahwa dalam misi-Nya, Yesus justru sangat terbuka pada perbedaan: Yesus yang membiarkan perempuan Siro-Fenisia tetap pada imannya, Yesus yang membiarkan Nikodemus tetap pada profesinya sebagai pemimpin agama Yahudi. Mereka melupakan bahwa Yesus yang tidak mengajarkan Kerajaan Allah dengan cara doktrin per doktrin tetapi justru dengan perumpamaan, supaya tafsir orang pada akhirnya menjadi lebih luas daripada pada doktrin yang kaku dan pragmatis. Gereja-gereja yang demikian tidak jarang dengan mudah menyesat-sesatkan gereja yang tidak sealiran dengannya. Bukan membuat perdamaian menjadi salah satu agenda, tetapi semakin melebarkan jurang permusuhan antargereja. Prinsip Amanat Agung yang mereka lewatkan adalah mengajar mereka melakukan kehendak Yesus, karena sudah terpaku pada doktrin bahwa ajaran Yesus tidak  lagi bisa ditafsirkan sesuai dengan konteks jaman sekarang yang begitu plural.
Di sisi lain, kita bertemu dengan gereja yang adem ayem, mereka yang merasa sudah mempunyai anggota yang cukup, mereka berhenti dalam tugas misi mereka. Dengan tenang mereka mengatakan bahwa iman adalah semata-mata urusan personal, yang tak lain sebenarnya adalah dalih bahwa mereka juga begitu terpaku pada paradigma bahwa doktrin mereka sudah benar, sudah baku dan tidak bisa lagi-lagi diutak-atik. Dalam misi mereja menjadi pasif, mereka menunggu orang datang, bukan mengajak orang untuk ikut serta. Gereja yang demikian merasa bahwa ketika terjadi pembaptisan, maka itu sudah cukup, dan mereka lalai bahwa dalam Amanat Agung, baptisan adalah penjumlahan dari upaya gereja untuk pergi dan menjadikan bangsa-bangsa murid-Nya. Sebuah bahasa yang lebih tepat dibunyikan sebagai kebutuhan proaktif daripada sekadar kebutuhan reaktif.
Pertentangan misi ini membuat gereja-gereja, kalau boleh jujur dan berani, sibuk mengurusi domba-domba gereja lain, bahkan gembala-gembala gereja lain (yang sebenarnya sudah masuk ke dalam lingkaran, dan seharusnya tinggal “diajar melakukan”) dan lupa kepada dunia yang sebenarnya justru menjadi sasaran misi. Yang satu sangat sibuk dengan komitmen misi yang sempit, karena misi hanya dimengerti dalam paradigma mereka sebagai membawa jiwa-jiwa ke dalam gerejanya dan bukan kepada Yesus yang universal, yang justru tetap beragama Yahudi itu (walaupun Yesus membawa angin baru bagi Yudaisme). Sedangkan yang satu begitu sibuk dengan komitmen teologis yang sempit hingga melupakan bahwa misi perlu upaya proaktif, pergi dan bergerak ke luar. Misi antargereja ini lalu tidak membawa damai sejahtera, tetapi membuat perseitrgangan antargereja menjadi lebih kompleks. Keragaman teologi kemudian justru menjadi perbedaan yang memecah, bukan kekayaan yang patut senantiasa menjadi diskursus.
Merumuskan Gereja yang Misioner
Pertanyaan terbesar kemudian yang muncul adalah bagaimana secara nyata wujud gereja yang misioner itu, bagaimana gereja menanggapi panggilan dan komitmen misiologisnya? Rumusan yang akhirnya disusun dalam paper ini, mau tidak mau tidak pertama-tama berangkat dari konsekuensi metodologis, tetapi dari prinsip ideologis dari dasar misiologis. Karena sekali lagi, metode adalah cara, metode bisa beragam asalkan setia pada prinsipnya dan kontekstual. Demi konsistensi dan pertanggungjawaban etis, kita sedikit perlu mengurai bagaimanakah kesetiaan pada prinsip  dan kontekstualitas ini.
1.      Setia pada prinsip (tekstual), berarti bahwa misi yang dilakukan harus berangkat dari pedoman yang terdapat dalam Alkitab. Alkitab tentu saja bisa ditafsirkan sedemikian rupa, dengan metode penafsiran yang beragam (historis kritis, naratif, ideologis, sosiologis, feminis, dll.) tetapi tetap tidak mengurangi dan bertanggungjawab pada Alkitab tersebut sebagai dasar tekstualnya. Dalam paper ini, secara khusus titik berangkat misiologi adalah Amanat Agung Yesus Kristus. Misi tidak boleh melupakan dua pokok yang terkandung dalam amanat agung seperti dijelaskan di atas.
2.      Kontekstual. Kata konteks merujuk pada budaya, kondisi sosial, politik, ekonomi, tradisi, sejarah yang terdapat di suatu tempat. Upaya teologi kontekstual merupakan upaya mendekatkan teologi pada berbagai lapisan penerimanya, sehingga teologi tidak dilihat semata-mata menggunakan kacamata dunia Barat. Tanpa disadari teologi yang berkembang di Indonesia sangat bernuansa Barat, dan itu melemahkan, Alasan yang digunakan biasanya adalah pemurnian teologi, padahal sebenarnya kita sedang berada di bayang-bayang hermeneutik para teolog Barat, para bapa gereja yang kadang tidak senantiasa tepat ketika dihadapkan pada konteks Indonesia. Karena sebenarnya para bapa gereja itu pun berangkat dari konteks keberadaan mereka saat itu, misalnya Agustinus menggunakan secara kritis filsafat Plato, Thomas Aquinas menggunakan filsafat Aristoteles, Calvin lain lagi karena sangat bernuansa Renaisans, para teolog pembebasan menggunakan konteks penindasan rasial dan di Afrika Selatan. Dari teologi kontekstual ini kemudian muncul teologi kerbau di Asia, teologi feminis, bahkan teologi sukses. Teologi kontekstual adalah kesadaran bahwa cara orang menerima Tuhan dan berteologi secara operasional mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh konteks keberadaannya. Misi pun tampaknya harus kontekstual, seperti halnya Paulus yang menyatakan bahwa ketika dia bersama orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, ketika bersama orang Yunani aku menjadi seperti orang Yunani. Teologi kontekstual bukanlah teologi yang plin plan tetapi teologi yang menghitung konteks keberadaan penerimanya.
Lalu bagaimanakah teologi yang secara prinsip seharusnya menjadi dasar bagi gereja untuk menjalankan komitmen misiologisnya. Ada beberapa catatan penting yang harus selalu dipertimbangkan, bukansalah satunya tetapi seluruhnya, yaitu:
1.      Meneladan Yesus. Misi sebeneranya adalah tanggungjawab yang didelegasikan oleh Yesus kepada pengikutnya. Yesus sendirilah yang sebenarnya memulai upaya misi dengan menafsirkan ulang kepercayaan Yahudi. Ketika menafsirkan sesuatu Yesus tetap berpegang pada kitab-kitab Yahudi, tetapi menambahkan sesuatu yang lebih daripada tafsiran yang selama ini ada, sesuatu yang lebih itu tidak lain adalah kasih universal. Kita bisa melihat bagaimana Yesus menafsirkan misalnya ketika Dia berkhotbah di bukit. Seharusnya upaya misi juga berangkat dari bagaimana Yesus melakukan misinya, upaya yang dilakukannya adalah yang dilakukan dalam damai, kasih. Bukan pertama-tama untuk menghakimi kepercayaan seseorang, tetapi untuk membawa kepercayaan itu ke tingkat yang lebih tinggi dari yang selama ini telah dicapai.
2.      Dua hal berjalan bersama. Dari Kis. 2: 47, ada dua hal yang berjalan bersama dalam misi gereja perdana yaitu “menambahkan jumlah mereka … dengan orang yang diselamatkan.” Ada penambahan jumlah orang percaya, tetapi bukan hanya percaya tetapi diselamatkan. Tentu ini lebih bersifat transenden daripada imanen, bahwa yang berhak menilai seseorang sebagai percaya dan diselamatkan bukanlah sang misionaris, bukanlah manusia tetapi Tuhan. Keselamatan dan keanggotaan gereja seharusnya adalah dua hal yang berjalan beriringan, ini adalah kritikan keras bagi penekanan salah satu saja, penekanan pada seolah-olah kuantitas dengan misi yang agresif, atau penekanan pada seolah-olah kualitas pada misi yang pasif.
3.      Bukan demi gereja, tetapi demi terwujudnya tanda-tanda kehadiran Allah di dunia. Ini adalah catatan penting untuk misi sebuah gereja. Ketika misi dijalankan oleh gereja sekadar untuk gerejanya, maka yang terwujud tidak jarang adalah upaya ‘menobatkan’ orang yang sudah Kristen supaya bergabung dengan gerejanya. Ini bukanlah tugas pertama misi, tugas pertama misi adalah membawa orang ke dalam Yesus dan mengajar orang itu untuk melakukan apa yangmenjadi kehendak Yesus.

Pada akhirnya, John Stott dalam tulisannya menyatakan bahwa ada empat hal yang bisa menjadi tolak ukur apakah sebuah misi berjalan dengan tepat ataukah tidak, empat hal itu berhubungan dengan relasi antarorang percaya, tentu saja dalam keragaman denominasi mereka. Empat hal tersebut adalah apakah orang-orang percaya bertekun pada ajaran para rasul sesuai dengan ajaran Yesus, apakah hubungan atau relasi ini terjalin baik satu sama lain, apakah mereka berhubungan dengan baik dengan Allah, dan apakah mereka berhubungan baik dengan dunia luar dalam menjadi saksi Yesus. Gereja yang misioner tampaknya tidak bisa menghilangkan salah satu variabel dari keempat variabel ini.